9:00-17:00
Jam Kerja Senin-Jumat
Di era transformasi digital yang kian pesat, kejahatan tidak lagi terbatas pada dunia fisik. Salah satu bentuk kejahatan siber yang kini menjadi sorotan global adalah cyber terrorism, yaitu aksi teror yang dilakukan melalui teknologi informasi untuk menimbulkan ketakutan, kekacauan, atau kerusakan sistem secara luas, seringkali dengan motif politik, ideologis, atau keamanan nasional.
Cyber terrorism bukan lagi sekadar ancaman masa depan—ini adalah realita masa kini. Dengan kemampuan menyerang jaringan listrik, perbankan, infrastruktur vital, bahkan sistem pertahanan negara, dampaknya bisa setara dengan serangan fisik berskala besar.
Cyber terrorism adalah penggunaan teknologi komputer dan internet untuk melakukan serangan terhadap sistem informasi, jaringan, atau infrastruktur penting dengan tujuan menimbulkan teror, kerusakan besar, atau ketidakstabilan. Beberapa karakteristiknya antara lain:
Serangan bersifat terencana dan memiliki tujuan politik atau ideologis.
Menargetkan sistem vital nasional seperti fasilitas publik, pemerintahan, militer, dan ekonomi.
Menyebabkan kerusakan, kepanikan, atau korban jiwa secara tidak langsung.
Beberapa serangan yang menggemparkan dunia dan dikategorikan sebagai cyber terrorism:
Stuxnet (2010): Malware canggih yang menyerang fasilitas nuklir Iran. Diduga sebagai serangan siber dari negara terhadap negara.
WannaCry Ransomware (2017): Menyerang lebih dari 200 ribu sistem komputer di 150 negara, termasuk rumah sakit di Inggris, menyebabkan layanan medis lumpuh.
Serangan siber Estonia (2007): Menargetkan sistem pemerintahan dan keuangan, menyebabkan ketidakstabilan nasional.
Di Indonesia, meski belum ada istilah “cyber terrorism” secara eksplisit dalam undang-undang, namun beberapa regulasi dapat digunakan untuk menjerat pelakunya:
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo. UU No. 19 Tahun 2016 – mengatur larangan akses ilegal, gangguan sistem elektronik, dan penyebaran virus/malware.
UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme – dapat digunakan jika motif serangan terbukti bertujuan menciptakan teror, kekacauan, atau ancaman keamanan nasional.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) – terutama pasal-pasal mengenai perusakan dan pengancaman.
Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) – mengatur kewajiban perlindungan sistem elektronik.
Penanganan cyber terrorism bukan tanpa hambatan. Beberapa tantangan yang dihadapi antara lain:
Kesulitan pelacakan identitas pelaku karena mereka bisa beroperasi secara anonim lintas negara.
Kurangnya regulasi spesifik dan sinergi internasional dalam penanganan serangan siber lintas batas.
Keterbatasan sumber daya digital forensik dan tenaga ahli hukum bidang siber di Indonesia.
Cyber terrorism adalah ancaman nyata dalam dunia modern yang membutuhkan respons hukum yang cepat, tepat, dan kolaboratif. Selain penegakan hukum yang kuat, masyarakat, pelaku usaha, dan pemerintah juga perlu meningkatkan kesadaran serta keamanan digital masing-masing.
Apabila Anda atau institusi Anda menghadapi risiko atau serangan siber, penting untuk mendapatkan pendampingan hukum yang kompeten dan memahami jalur penanganan yang tersedia di ranah hukum Indonesia.
Hubungi Kami untuk Konsultasi Hukum Siber dan Keamanan Digital:
Graha Morillo, Jl. Lebak Bulus I No. 2, Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430
WhatsApp: 0812-8712-7025
abdullahfahmi.com
#CyberTerrorism #HukumDigital #KejahatanSiber #UUITE #TerorismeSiber #AbdullahFahmiLawfirm #PengacaraJakarta #KonsultasiHukum #CyberCrime
Berbekal pengalaman lebih dari 10 tahun menangani kasus hukum dan membantu perusahaan baik perusahaan dalam negeri maupun modal asing, Yayasan, koperasi dan NGO, A&F Law Firm memantapkan langkahnya membuka layanan di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Medan, Palembang, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Makasar.